Mas Pur

Mas Pur

Mediabnr – Percakapan sore dengannya seperti sebuah kilas balik yang menarik saya ke sebuah era. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah abad bertemu. Dia bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, tetapi yang lebih menarik ia saksi yang terlibat langsung. Ia ingin mengajak saya mengunjungi beban, atas semua perasaan yang terpendam. Kekagumannya pada masa lampau, membuatnya terjebak pada nostalgia. Ada idealisme disitu. Entah atas nama tata krama, saya mendengarkan kisah dokumenternya.

Tidak ada yang mengenal nama, Muhamad Sunaryono (70), yang lahir pada tahun 1947. Karena dia bukan siapa-siapa. Ia hanya pelengkap acara, bukan pelaku utama. Lelaki sepuh ini lebih dikenal dengan nama Mas Pur. Dia seorang, master of ceremony (MC), yang telah dilakoninya selama dua dekade. Mantan juri ‘Pelestari Burung Indonesia’ (PBI) era kepemimpinan Kamil Oesman tersebut, telah menjadikan dunia burung menjadi sandarannya dalam meniti kehidupan. Dunia burung telah menongkrongi dirinya dan melibatkannya. Setidaknya ia tak bisa membayangkan dirinya, hidup tanpa pertautan dengan dunia kicauan.

Ingatan dan pekerjaan yang menyangkut dunia burung, sulit untuk ditinggalkannya. Ikatan batin juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti bagi dunianya, menjadi cita-cita tak tertulis. Tak akan mengherankan bila dunia burung baginya sangat istimewa. Geografinya sangat sederhana: sebuah lapangan kontes adalah bagian dari wilayah kerja atau wilayah diri. Tak ada yang lain.Mas pur

Di atas sepeda motor tuanya yang setia, ia menuju suatu titik, ia praktis seperti seorang yang menjelajah dan mengikuti jadwalnya. Raut wajah menua, tak menyurutkan semangat dalam bekerja. Meski terlihat lelah, suaranya kerap mewarnai gempitanya dunia kicauan. “Tak lapuk oleh hujan, Tak lekang oleh panas”.

Dialog dengannya menjadi pendengar yang pasif, sang orang tua pikirannya penuh dengan retorika kenangan, cerita masa lalu dan kesuksesan pada zamannya. Tak bisa terbantahkan, pengalamannya memang panjang untuk dunianya. Tak akan habis tiga polio, menuliskan biografi dan narasi panjangnya.

Waktu ashar berkumandang, sang tua bergegas beranjak menerima panggilan-Nya, ini menjadi bagian akhir dari percakapannya. Ia melepaskan diri dari rutinitas dunia. Yakin dan percaya, semua sudah diatur oleh sang pencipta, memupus semua ego dalam ceritanya. Di alam kehidupan yang tak terukur, ia memungut segenggam harapan. Baginya sebuah dunia… Antara kekal dan tak kekal. (ricky_dim)