foto istimewa

MediaBnR – Mimik sang Raja sontak berubah, ketika mendengar bahwa pasukannya kalah dalam pertempuran. Meski baru sebatas mendengar tanpa melihat langsung peperangannya, Sang Raja cukup terpukul mendengar kabar tersebut. Merasa pasukannya kuat dan berjumlah banyak, tentunya kekalahan ini tak bisa diterimanya. Harga diri dan martabat sang Raja menjadi pertaruhannya dalam perang kali ini. Para penasehat Raja pun merasakan kegelisahan dari sang rajanya. Kemudian para penasehat tersebut berdiskusi dengan tujuan untuk menenangkan serta menjaga gundahnya hati sang Raja. Mereka sibuk membuat alasan untuk menutupi kabar kekalahan, kesalahan dan kegagalan yang sudah dilakukan pasukannya. Pembenaran dilakukan para penasehat tersebut, dengan tujuan harkat martabat sang Raja, tetap terjaga meski mengalami kekalahan. Mereka menutupi kekalahan dengan cara menyalahkan apa yang dia bisa salahkan.

Pembenaran yang dilakukan para penasehat tersebut, Bertujuan untuk menutupi kebenaran yang tengah terjadi. Para penasehat sibuk menyiapkan strategi seribu alasan demi menutupi kekalahannya. Mereka sibuk memaksakan tindakan pembenaran agar pendapat dan pemahaman orang lain yang berbeda menjadi sama dengan yang diinginkannya. Akhirnya kebenarannya itu sendiri tenggelam oleh gempitanya pembenaran yang dilakukan tim penasehat, dengan cara mengaburkan opini, menyembunyikan informasi dan memutar fakta kebenaran. Tapi ini semua terjadi pada zaman dunia kerajaan, dimana sang Raja hanya mendengar dan bersembunyi di belakang para penasehatnya.

Apakah hal yang sama juga terjadi di dunia kicauan? Ramainya dunia kicauan justru terjadi di media sosial, arenanya berpindah ke dunia maya. Media sosial dipenuhi perdebatan tanpa mediator, debat kusir, cemoohan, hujatan, saling serang, sampai hilir mudiknya informasi pembenaran. Media sosial hakekatnya bisa menjadi ajang silaturahmi, tukar informasi, sharing, dan fasilitas komunikasi. Tetapi kini peran media sosial justru telah menjadikan persaudaraan terpecah-belah. Imbasnya pembenaran mengalahkan kebenaran, sehingga timbulnya penyekat yang menghalangi kebenaran itu untuk maju. Berbeda itu indah, tapi lebih indah lagi kalau berdiri bersama, saling merendahkan hati tanpa adanya penyekat pribadi. Hidup bukan tentang siapa yang benar,tetapi siapa yang mau berbuat benar. (red)