bnr indonesia

Mediabnr – Mukanya memerah bukan karena jengah atau marah. Siang ini penyebabnya, Matahari sedang bergairah. Sifat alamiah lalu muncul, untuk meminimalkan kekhawatiran terik yang menyengat, berlindung menjadi pilihan terbaik.

Matahari dengan setia tetap menunjukan wujudnya. Loyalitasnya bukan karena paksaan, melainkan sebagai sesuatu kodrat berjalan. Takdirnya sebagai penyempurna naskah ilahi. Identitasnya jelas tak pernah berubah.

Eksistensi Menuju 2018

Mengikuti alur eksistensi perburungan Nusantara, BnR Indonesia siap menyongsong tahun 2018. Gonjang-ganjing di penghujung tahun menjadi viral tersendiri, yang mau tidak mau harus ada keputusan kolektif, untuk mengoptimalkan penghindaran kekhawatiran. Langkah besar pun ditawarkan, aklamasi terhimpun melalui kesepakatan organisasi.

Lewat konsolidasi dan peningkatan efisiensi yang sudah berjalan, BnR lebih siap menghadapi tahun mendatang. Meski opini publik berkembang liar, tak sedikit yang bertepuk tangan dan prediksi bercabang yang menyerang. Yang penting bukan mencari kejelasan, “Ada apa gerangan?” karena itu pertanyaan rongsokan. Rongrongan dan goncangan merupakan proses wajar menjelang kedewasaan. BnR Indonesia tetap berjalan normal, seperti matahari yang terbit dari ufuk timur. Tidak berubah.

Keluarbiasaan ini menjadi cerita penutup tahun 2017, meski tak hendak dibicarakan, tapi mungkin tak bisa dilupakan. Keadaan yang melahirkan semangat baru, sekaligus momentum kebangkitan rasa baru menjelang tahun 2018.  Kekompakan itu jadi lebih terasa, ketika orang lain bisa berarti musuh yang tersembunyi. Mundur dalam sebuah perjuangan, menyiratkan mereka tak siap untuk mati sebagai pejuang. Mereka memproklamasikan perceraiannya lewat dinding ruang publik, dengan menyatakan resmi berpisah. Tampaknya belum disadari, bila kata tak bisa dipakai untuk berbicara, orang akan pelan-pelan saling mematikan, akan kita lihat sang dinding bertepuk riang, tetapi matahari tetap menyinari.

BnR Adalah Kita

Tepat 13 Desember menjadi miladnya BnR Indonesia, kado terindah didera persoalan internal, menjadi konsumsi jagat kicauan. Tetapi kembali sejarah mencatat, ‘pertunjukan’ sensasional yang terjadi, seperti menjadi bumbu penyedap di geliat kelangsungannya merayakan hari jadi. Sedikit menggenjot adrenalin, justru mengibarkan kebersamaan yang lebih solid, karena BnR adalah kita.

Bukan organisasi namanya kalau tidak ada ledakan, maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan.Terlihat adegannya berjarak sangat dekat, tetapi cenderung melankolis menjurus romantis, hanya terpisah sekat pada dinding tak bertuan. Meskipun disuguhkan berulang-ulang tema perpisahan, sang sutradara telah tepat memilih pemain utamanya yang baru. Dengan dukungan naskah yang kuat, dialog cerdas dan loyalitas tanpa batas. Sang sutradara mengerti betul, ada yang tumbuh setelah ranting yang kering berpindah dibawa burung, untuk membuat sarang.

Tak peduli sinar matahari menyorot dengan garangnya, karena semakin siang semakin banyak semangat yang terkumpul. Sang surya pun berujar lewat sinarnya.

“Mengapa harus menolak cahaya yang sudah terang. Jika khawatir kepanasan, maka berteduhlah… Atau, saya kecilkan volume teriknya!”

“Saya hanya perkakas yang dikuasai menerangi, dari sang pemberi hidup. Tidak ada janji abadi, selama langit belum runtuh, aku tak akan berhenti.” (ricky_dim)