Jakarta ( BnR ) – Sudah lama dan teramat sering mendengar dua kata itu dalam perbincangan di kalangan pelomba – penggemar burung berkicau. Di satu sisi mereka mengaku sangat cinta pada burung, sehingga merasa terusik manakala ada yang menuduh bahwa mereka sebagai perusak kelestarian alam dengan cara mengeksploitasi burung.

Ramainya kembali dunia perburungan belakangan ini ada kecenderungan terus meningkat. Ini dibuktikan dengan makin banyaknya lomba yang digelar maupun peserta yang hadir siapapun penyelenggaranya.

Namun setelah lomba burung disoal dan harus diimbangi dengan upaya penangkaran sebagai keseimbangan ternyata, ternyata sebagain sudah membuahkan hasil dengan munculnya penangkaran burung yang dilombakan. Hampir di semua daerah sentra atau kantong pelomba yang sering dijadikan ajang lomba burung ada penggemar atau pelomba yang melakukan penangkaran.
Perlu diingat, bahwa penangkaran bukan satu-satunya solusi pelestarian. Mengingat penangkaran jika tidak diimbangi dengan kemampuan justru sebaliknya akan merusak populasi burung yang ditangkarkan itu sendiri.

Upaya penangkaran yang makin giat dilakukan kalangan penggemar maupun pelomba memang dikatakan berhasil masih belum. Guna mendukung keberhasilan tidak mudah dan memerlukan penguasaan di bidang peternakan, kesehatan dan biologi dan terpenting lagi penguasaan yang berdasar pengetahuan dan pengalaman.

Meskipun secara realita sekarang sudah semakin banyak yang berhasil menangkarkan beberapa jenis burung lomba, tapi perlu dihitung kembali berapa yang gagal dalam menangkar. Hal ini didominasi ketertarikan dari sisi bisnis semata tanpa diimbangi dengan bekal sebuah ‘ilmu’ . Kenyataan inilah yang terkadang membuat mereka yang belum melakukan upaya penangkaran menjadi ketakutan atas kegagalan itu.

Bahkan kata pelestarian itu sendiri banyak disalah artikan atau memang mereka tidak mengerti jika penangkaran yang dilakukan hasilnya untuk kepentingan sendiri bukan sebagai upaya perbaikan habitat aslinya yang sudah mulai terancam. Hal yang demikian ini tentu belum bisa dikatakan sebagai pelestari.

Pelestarian burung memiliki arti yang sangat luas baik untuk memperbaiki kondisi di habitat aslinya, meningkatkan atau menciptakan habitat baru serta menjaga habitat burung tersebut terhindar atau teracam dari kepunahan. Penangkaran eksitu (di luar habitatnya) yang sampai mengubah kondisi dan prilaku dari burung itu sendiri tidak bisa dikatakan sebagai pelestari.

Upaya pelestarian yang paling efektif dengan menggulirkan kesadaran di dalam lomba sebaiknya sudah mulai selektif burung mana yang dilombakan. Jika melihat ketentuan yang dikeluarkan menteri lingkungan hidup pada tahun 1990, bahwa burung yang dilombakan hanya burung hasil penangkaran, itu sangat tepat, termasuk burung impor. Khusus burung impor yang dilombakan juga harus dilihat secara jeli apakah hasil tangkapan atau burung penangkaran.

Secara global burung impor maupun lokal yang dilombakan merupakan hasil tangkapan alam yang kelak bisa dinyatakan punah karena jumlah populasinya makin berkurang. Dan menjadi ironis lagi sangat minim kepeduliaan dan aksi rill dari elemen perburungan mulai dari pelomba hingga sebuah wadah komunitas apapun labelnya.

Sampai saat ini harus diakui, kenyataan misi dan visi LSM bernama PBI yang diemban sebagai Pelestari Burung Indonesia sudah jauh menyimpang. Tidak ada program yang riil tentang upaya pelestarian seperti yang tercantum dalam AD/ART justru menjadi prioritas aktifitas PBI di berbagai cabang.

Namun kondisi seperti itu bukan suatu fenomena mati yang memupuskan pelomba, penggemar maupun lembaga mandiri yang benar-benar konsen dan riil melakukan perjuangan ke tahap penangkaran seperti yang dilakukan yayasan BnR. Kiranya akan sepakat kata Pelestari disimpan dulu, diganti kata Penangkaran supaya tidak menjadi beban berat dan malu menyandang atau mengudar kata – kata Pelestari di khalayak. *